“... Saya sebagai orang yang dititipi kemampuan (oleh Tuhan) untuk menulis lirik lagu merasa senang (ketika berdampak baik) karena merasa ada nilainya dengan apa yang saya perjuangkan….”
Setelah dengar pernyataan itu aku langsung kepikiran nulis tulisan ini
Tulus diberikan “titipan” berupa kemampuan menulis lirik lagu. Paling tidak kita tahu dan ikut mendengarkan lagu yang dibuat oleh Tulus mungkin mampu membuat sebagian dari kita menjadi bahagia, haru, tenang, dan mungkin emosi baik lainnya. Artinya kita tahu bahwa titipan Tuhan yang diberikan kepada Tulus berupa kemampuan menulis lirik lagu tersebut dimanfaatkan dengan baik dan memberikan dampak baik juga ke pendengarnya.
Tapi memang benar, semua yang kita dapatkan di dunia ini memang “titipan”. Kadang ada orang yang merasa sesumbar atas pencapaian yang didapatkannya merasa bahwa ini semua karena dirinya. Padahal antara dirinya dengan pencapaiannya ada perantara Tuhan, kalau Tuhan tidak menitipkan kemampuan itu kepadanya, mungkin semua pencapaiannya tidak akan pernah ada.
Ada juga yang merasa angkuh dengan semua yang didapatkannya. Padahal itu pun juga bukan karena dia, tapi karena Tuhan yang menitipkan. Dengan harapan titipan yang diberikan kepadanya bisa berdampak baik dan tidak menimbulkan keburukan. Kalau Tuhan tidak mengizinkan kita mendapatkan titipan tersebut lalu kita mau apa? Ketika Tuhan meminta kembali titipan itu, menariknya kembali, kita bisa apa?
Padahal seharusnya dengan segala sesuai yang kita punya akan lebih bermanfaat ketika itu kita juga berbagi. Tuhan menitipkan itu bukan untuk kita sendiri, tapi ada hak orang lain juga untuk menerimanya. Ada orang di luar sana yang mungkin berhak atas itu tapi tidak mendapatkannya karena kita tidak membagikannya. Bukan karena orang itu tidak berusaha, tapi memang karena Tuhan menitipkan itu kepada kita agar dengan titipan itu kita bagikan sebagiannya untuk yang lain melalui kita misalnya, bisa jadi. Apapun itu, materi, waktu, pengetahuan, keterampilan, maupun lainnya.
Sama analoginya dengan begini misalnya sebagai contoh, Indonesia diberikan titipan oleh Tuhan dengan mempunyai sumber daya alam melimpah berupa kelapa sawit, namun tidak gandum. Sedangkan Sebaliknya, Cina mempunyai sumber daya alam berupa gandum, namun tidak dengan kelapa sawit. Padahal keduanya membutuhkan sumber daya tersebut satu sama lain, ya saling berbagi. Bukannya justru dikelola secara tidak baik untuk menguatkan yang satu dan menjatuhkan yang lain. Oke dalam batas tertentu mungkin boleh ketika memang masih dibutuhkan. Tapi ketika sudah cukup ya dibagikan. Masing-masing diberikan titipannya masing-masing oleh Tuhan. Tuhan menitipkan itu untuk dikelola dengan baik, memberikan sesuatu yang baik.
Termasuk jasmani dan rohani kita ini pun dititipkan juga oleh Tuhan. Kita dititipkan oleh Tuhan tubuh yang lengkap, jiwa yang sehat, dan sempurna. Ketika di awal kita dititipkan dalam keadaan yang baik, ya kita harus kembalikan dalam keadaan yang baik juga, atau bahkan lebih baik dari waktu awal. Olahraga, tidur teratur, makan sehat, dan seterusnya. Kita ambil contoh kecil mandi misalnya, ketika kita berniat dengan mandi itu kita niatkan agar titipan Tuhan berupa jasmani ini agar bersih, terhindar dari penyakit, dan kembali suci maka bisa jadi kita dapat pahala dan kebaikan misalnya. Jangan justru dirusak dengan aktivitas atau perilaku yang merusak. Begadang, makan minum berlebihan, dan seterusnya.
Seharusnya begitu kan? Ibarat kalau kita meminjam barang ke orang lain dalam kondisi baik, ya harus dikembalikan dalam kondisi yang baik juga dong. Kalau rusak ya kita harus ganti. Kembali lagi, kalau jasmani dan rohani ini rusak ketika dikembalikan ke Tuhan kita mau ganti dengan apa?
Konsep ini yang orang-orang sering terlewatkan. Menganggap semuanya “punya aku”, “karena aku”, “pokoknya aku”. Ke-aku-an ini yang bisa berdampak kurang baik, sehingga lupa apa yang didapatkan sebetulnya dari siapa dan untuk apa.
Kita geser ke konteks yang lain. Tidak perlu jauh-jauh, kita lihat di Indonesia atau mungkin negara lain juga seperti pemilihan seorang pemimpin. Pada zaman Nabi tidak ada yang mau dijadikan pemimpin karena takut tidak amanah. Orang-orang cenderung menghindari agar tidak menjadi pemimpin ketika pemimpin sebelumnya sudah tidak ada, meninggal misalnya. Sampai sahabat Nabi dulu bahkan sampai menangis karena takut tidak amanah ketika dijadikan seorang pemimpin. Takut tidak dapat memberikan yang terbaik kepada rakyatnya karena merasa tidak mampu dan merasa ada orang lain yang lebih pantas.
Sekarang justru sebaliknya, orang-orang berlomba agar bisa menjadi pemimpin. Entah karena memang merasa lebih mampu daripada yang lain, merasa lebih amanah, atau memang mempunyai kelebihan lain yang itu bisa berdampak baik untuk rakyatnya. Bukan berarti buruk, bagus juga ketika memang merasa ada panggilan kebaikan untuk memimpin. Artinya banyak orang yang ingin membuat situasi menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Tapi kalau niatnya tidak secara murni untuk memberikan yang baik atas amanah itu lalu untuk apa memanfaatkan titipan yang bukan miliknya itu untuk mendapatkan sesuatu yang juga bukan haknya. Kalau memang semua dijalankan sesuai dengan prosedur dan memang tidak terpilih untuk mendapatkan titipan berupa amanah untuk memimpin ya sudah kan. Kalau dapat disyukuri, kalau tidak ya tetap disyukuri. Toh juga titipan, semua juga bakal dikembalikan ke Tuhan.
Ketika sedang diberikan titipan oleh Tuhan berupa amanah menjadi seorang pemimpin. Diberikan kuasa, fasilitas, akses, dan apapun itu untuk dapat membuat sesuatu lebih baik. Gunakan. Jangan justru dijadikan untuk kepentingan yang tidak baik. Begitu pun soal rezeki. Rezeki pun juga titipan dari Tuhan. Kemarin dengar Ustadz Adi Hidayat, katanya
“...Rezeki tidak akan tertukar. Mau apapun cara kita dalam mendapatkan rezekinya ya tetap akan segitu. Lalu kenapa kita memilih cara yang haram untuk mendapatkannya kalau ada cara yang halal?”
Maksudnya, misalnya seumur hidup sampai meninggal nanti kita akan diberikan titipan oleh Tuhan berupa rezeki 1 miliar. Mau bekerja apapun, dengan cara apapun itu sudah ditentukan sesuai akan seperti itu jumlahnya. Jadi kita tidak perlu risau mau pakai cara yang baik atau tidak baik. Aku yakin ketika menggunakan cara yang tidak baik, pasti akan ada yang dirugikan di dalamnya. Seharusnya pertanyaan lanjutannya adalah pakai cara baik yang mana? Bukan lagi bimbang memilih pakai cara yang baik atau tidak baik. Yang jelas tidak mungkin kalau kita tidak berusaha untuk mendapatkan rezeki.
Intinya ketika memang Tuhan tidak menghendaki titipan yang memang bukan diperuntukkan untuk kita, lalu kenapa kita harus memaksakannya, baik waktunya, caranya, kondisinya, dan seterusnya atau bahkan dengan mengambil hak orang lain di dalamnya. Itu titipan, namanya titipan ya harus dikembalikan. Memangnya ketika kita mengambil atau mencuri titipan milik orang lain kita bisa mengembalikannya? Aku yakin tidak, karena segala sesuatunya menjadi tidak tepat seperti yang Tuhan telah rencanakan sebelumnya.
“Ketika tidak mampu membuat titipan Tuhan yang diberikan kepada kita menjadi lebih baik atau bermanfaat baik, minimal tidak merusak atau membuat sesuatu lebih buruk titipan itu”
Semoga bermanfaat ya, sampai ketemu di tulisan selanjutnya.
No comments:
Post a Comment