Thursday 13 October 2022

#SeparuhRenungan, Bagian 1 (Paksaan)



Hai semuanya, semoga kalian selalu dalam keadaan baik ya.

Lama sekali aku tidak menulis di blog ini, sepertinya satu tahun sejak perilisan buku, atau malah sepertinya lebih ya. Tulisan kali ini dan seterusnya (semoga) akan menjadi seri kedua dari #SedikitRenungan pertama yang sudah rilis sebelumnya. Temanya dinamai dengan #SeparuhRenungan, harapannya ini jadi monumen kedua dan bentuk pengembangan dari #SedikitRenungan beberapa waktu yang lalu. Isinya pun akan kurang lebih sama sekitar pengalaman hidup pribadi yang menurutku punya nilai baik yang bisa diambil di dalamnya.

Banyak sekali hal berubah dalam waktu setahun terakhir ini, pandemi yang perlahan mulai menghilang dan beralih ke era normal yang baru, perkembangan teknologi yang juga sangat pesat dengan internet of thing bahkan internet of people, resesi ekonomi dengan beberapa negara mengalami kebangkrutan dan inflasi hebat, dinamika politik maupun geopolitik yang dipuncaki dengan perang. Seakan peristiwa penting “berkumpul” dalam satu periode. Semua itu mau tidak mau harus kita hadapi dengan “terpaksa”. Kita tidak bisa berbuat banyak hal untuk mengubah semua itu, terjadi-terjadilah.

Begitu pun aku, mungkin juga kalian, dari mulai aku yang juga semakin menentukan arah hidup ingin kemana yang tentunya juga semakin mengaktualisasi diriku, sampai hal-hal dalam hidupku yang harus ditentukan oleh orang lain yang memang harus terlibat di dalamnya. Kadang aku merasa hidupku ditentukan oleh waktu dan orang lain. Waktu menentukan masa, waktu menentukan proses. Tapi ya itulah cara kerja hidup.

Hidup kita penuh dengan paksaan.

Mulai dari waktu kita dilahirkan di dunia. Apakah kita bisa memilih kita mau dilahirkan atau tidak? Apakah kita bisa memilih siapa orang tua kita? Apakah kita bisa memilih untuk dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau perempuan? Aku rasa tidak. Satu yang pasti, kita tetap harus menjalaninya.

Makan, minum, mandi, buang air, semuanya berjalan tanpa keinginan kita dan harus berjalan semestinya. Kalau kita tidak makan minum pasti kita tidak kuat dan mati. Begitu pun mandi dan buang air. Semua aktivitas itu adalah bentuk “paksaan” yang memang harus kita jalankan sebagaimana mestinya.

Kita dipaksa untuk menjadi dewasa, mengerti banyak hal dan mempunyai tanggung jawab. Seiring berjalannya waktu akan banyak hal yang harus dihadapi. Kalau kita tidak menjadi dewasa, kita sulit untuk bertahan di tengah progresivitas orang-orang.

Kita dipaksa untuk terus bergerak dan berbuat, belajar banyak hal dan mampu untuk menghidupi hidup kita. Kalau kita hanya berdiam diri saja, sama saja kita seperti orang mati, tidak melakukan apapun. Kita tidak mungkin hanya akan terus mengandalkan orang lain.

Kita dipaksa untuk terus menjaga tubuh kita agar tetap sehat seiring berkurangnya fungsi-fungsi organ di dalam tubuh kita dengan bertambahnya usia. Setiap orang mengalaminya, merasa tidak baik ketika tidak menjaga tubuh kita. Kita akan mudah terserang penyakit dan sebagainya.

Kita pun juga harus paham jika ibadah pun juga harus dipaksa, menunaikan tuntunan sesuai dengan agama masing-masing. Kalau kita tidak memaksakan untuk beribadah, kita tidak akan kunjung menunaikan ibadah tersebut, tidak akan tahu kapan kita akan menunaikannya, karena ibadah itu soal keimanan yang memang tidak bisa dirasakan secara langsung. Kalau tidak kita tunaikan sebagaimana seharusnya, kita akan mendapatkan balasan sesuai ketentuan agama masing-masing.

 

Ketika kita semua menyadari semua itu, setiap orang akan merasa ingin berhenti pada suatu fase yang pada fase tersebut paling terasa menyenangkan dan menguntungkan. Nyatanya semua itu tidak bisa, waktu mengatur seluruhnya, kita dipaksa untuk melawan waktu.

Lazimnya, setiap orang akan mengalami fase yang tak jauh beda secara umum.

Anak kecil, bermain dan mulai belajar

Remaja, belajar lebih luas eksploratif dan mulai mandiri

Dewasa, mandiri sudah menjadi keharusan atau bahkan menghidupi orang lain.

Atau ada yang mendapatkan fase yang lain? Sepertinya tidak.

Aku pun demikian, menjadi anak kedua di sebuah keluarga dengan berbagai kekurangan dan kelebihan. Aku dengan kekurangan dan kelebihanku. Ayahku, ibuku, kakakku mereka semua datang dengan kekurangan dan kelebihannya. Kalau kita selalu membandingkan kekurangan kita kelebihan orang lain jelas tidak akan ketemu ujungnya. Seharusnya kita melihat kelebihan kita dan apapun yang kita punya dibandingkan dengan orang lain yang mungkin tidak memiliki kelebihan itu, lalu mengembangkannya untuk melalui “paksaan” kita tadi. Kita tidak bisa memilih untuk mendapatkan kelebihan saja, semua itu satu paket hadir dengan kekurangannya. Terkadang kita terlalu fokus dengan kekurangan kita yang kecil, padahal kita mempunyai kelebihan yang kita tidak pernah perhitungkan betapa besar banyaknya.

 

Mungkin kalian juga sadar kalau sebetulnya memang hidup kita ditentukan oleh waktu. Kita hidup dipaksa untuk menjadi tua yang tidak mungkin kita bisa kembali lagi. Di dalamnya kita dipaksa untuk menemui hal-hal baru yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya oleh kita. Tapi jika kita melihat orang lain, memang semua itu adalah azas dimana memang begitulah cara hidup bekerja. Jika kita tidak mencoba menyesuaikan diri dengan itu, justru kita yang akan tertinggal oleh waktu dan tertinggal oleh mereka-mereka yang bisa bersatu dengan waktu.

 Ketika kita kecil, kita merasa sangat menyenangkan menjadi orang dewasa. Bisa berbuat banyak hal tanpa perlu ada yang mengatur. Tapi sebaliknya, ketika kita dewasa ternyata kita juga merasa menjadi anak kecil adalah yang terbaik dimana kita belum mempunyai tanggung jawab atas apapun. Ternyata semua itu hanya soal sudut pandang kita sendiri yang tidak bisa menyesuaikan dengan apa yang sebenarnya kita sudah tahu akan terjadi.

Apapun yang terjadi, setiap orang menjalaninya. Tidak ada alasan untuk kita meminta kemudahan ataupun privilege ini dan itu. Ketika kita selalu membandingkan “paksaan” kita dengan orang lain, justru saat itu lah kita mulai dekat dengan kegagalan. Orang lain yang menurut kita lebih baik dalam melalui “paksaan”-nya, sedangkan kita yang mungkin tidak lebih baik, karena kita tidak tahu prosesnya dan kita tidak tahu secara menyeluruh. Mungkin orang lain ketika melihat kita juga merasa bahwa kita lah yang lebih baik daripada dia. Tidak ada alasan kita menjustifikasi sesuatu yang memang kita tidak tahu secara utuh.

Ketika kita dilahirkan sebagai manusia yang sama dengan yang lainnya, pantaskah kita menyerah?

Pernahkah kita membandingkan dengan mereka yang tidak lebih beruntung daripada kita namun kita tetap menyebutnya bahwa mereka (yang tidak beruntung) diberikan kemudahan? Kenapa kita tidak mulai menyalahkan diri sendiri bahwa memang diri ini yang gagal? Dunia ini bukan tempat untuk membuat diri kita nyaman dengan fasilitas yang ada di dalamnya, tapi dunia berusaha membuat diri kita ini menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya meskipun caranya pahit.

Kita semua berharap pada setiap waktu yang terlewati entah sampai kapan ini, kita bisa memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. Menjalankannya dengan baik, benar, bahkan memuaskan di setiap bagiannya. Sekalipun kita semua tahu bahwa kita sedang melawan waktu, kita semua juga tahu kalau suatu saat kita “dipaksa” untuk kalah melawan waktu. Tidak ada alasan untuk tidak melakukan yang terbaik di tengah paksaan yang setiap orang juga sedang menjalaninya. Apapun yang terjadi, jangan menyerah sampai waktunya kita memang harus menyerah.

No comments:

Post a Comment

Popular Posts