Lama sekali aku tidak menulis di blog ini, sepertinya satu tahun sejak
perilisan buku, atau malah sepertinya lebih ya. Tulisan kali ini dan seterusnya
(semoga) akan menjadi seri kedua dari #SedikitRenungan pertama yang sudah rilis
sebelumnya. Temanya dinamai dengan #SeparuhRenungan, harapannya ini jadi
monumen kedua dan bentuk pengembangan dari #SedikitRenungan beberapa waktu yang
lalu. Isinya pun akan kurang lebih sama sekitar pengalaman hidup pribadi yang
menurutku punya nilai baik yang bisa diambil di dalamnya.
Banyak sekali hal berubah dalam
waktu setahun terakhir ini, pandemi yang perlahan mulai menghilang dan beralih
ke era normal yang baru, perkembangan teknologi yang juga sangat pesat dengan internet of thing bahkan internet of people, resesi ekonomi
dengan beberapa negara mengalami kebangkrutan dan inflasi hebat, dinamika politik
maupun geopolitik yang dipuncaki dengan perang. Seakan peristiwa penting
“berkumpul” dalam satu periode. Semua itu mau tidak mau harus kita hadapi
dengan “terpaksa”. Kita tidak bisa berbuat banyak hal untuk mengubah semua itu,
terjadi-terjadilah.
Begitu pun aku, mungkin juga kalian, dari mulai aku yang juga semakin menentukan arah hidup ingin kemana yang tentunya juga semakin mengaktualisasi diriku, sampai hal-hal dalam hidupku yang harus ditentukan oleh orang lain yang memang harus terlibat di dalamnya. Kadang aku merasa hidupku ditentukan oleh waktu dan orang lain. Waktu menentukan masa, waktu menentukan proses. Tapi ya itulah cara kerja hidup.
Hidup kita penuh dengan paksaan.
Mulai dari waktu kita dilahirkan di
dunia. Apakah kita bisa memilih kita mau dilahirkan atau tidak? Apakah kita
bisa memilih siapa orang tua kita? Apakah kita bisa memilih untuk dilahirkan
sebagai seorang laki-laki atau perempuan? Aku rasa tidak. Satu yang pasti, kita
tetap harus menjalaninya.
Makan, minum, mandi, buang air,
semuanya berjalan tanpa keinginan kita dan harus berjalan semestinya. Kalau
kita tidak makan minum pasti kita tidak kuat dan mati. Begitu pun mandi dan
buang air. Semua aktivitas itu adalah bentuk “paksaan” yang memang harus kita
jalankan sebagaimana mestinya.
Kita dipaksa untuk menjadi dewasa,
mengerti banyak hal dan mempunyai tanggung jawab. Seiring berjalannya waktu
akan banyak hal yang harus dihadapi. Kalau kita tidak menjadi dewasa, kita
sulit untuk bertahan di tengah progresivitas orang-orang.
Kita dipaksa untuk terus bergerak
dan berbuat, belajar banyak hal dan mampu untuk menghidupi hidup kita. Kalau
kita hanya berdiam diri saja, sama saja kita seperti orang mati, tidak
melakukan apapun. Kita tidak mungkin hanya akan terus mengandalkan orang lain.
Kita dipaksa untuk terus menjaga tubuh
kita agar tetap sehat seiring berkurangnya fungsi-fungsi organ di dalam tubuh
kita dengan bertambahnya usia. Setiap orang mengalaminya, merasa tidak baik
ketika tidak menjaga tubuh kita. Kita akan mudah terserang penyakit dan
sebagainya.
Kita pun juga harus paham jika
ibadah pun juga harus dipaksa, menunaikan tuntunan sesuai dengan agama
masing-masing. Kalau kita tidak memaksakan untuk beribadah, kita tidak akan
kunjung menunaikan ibadah tersebut, tidak akan tahu kapan kita akan
menunaikannya, karena ibadah itu soal keimanan yang memang tidak bisa dirasakan
secara langsung. Kalau tidak kita tunaikan sebagaimana seharusnya, kita akan mendapatkan
balasan sesuai ketentuan agama masing-masing.
Ketika kita semua menyadari semua
itu, setiap orang akan merasa ingin berhenti pada suatu fase yang pada fase
tersebut paling terasa menyenangkan dan menguntungkan. Nyatanya semua itu tidak
bisa, waktu mengatur seluruhnya, kita dipaksa untuk melawan waktu.
Lazimnya, setiap orang akan
mengalami fase yang tak jauh beda secara umum.
Anak kecil, bermain dan mulai
belajar
Remaja, belajar lebih luas eksploratif
dan mulai mandiri
Dewasa, mandiri sudah menjadi
keharusan atau bahkan menghidupi orang lain.
Atau ada yang mendapatkan fase yang
lain? Sepertinya tidak.
Aku pun demikian, menjadi anak
kedua di sebuah keluarga dengan berbagai kekurangan dan kelebihan. Aku dengan
kekurangan dan kelebihanku. Ayahku, ibuku, kakakku mereka semua datang dengan
kekurangan dan kelebihannya. Kalau kita selalu membandingkan kekurangan kita
kelebihan orang lain jelas tidak akan ketemu ujungnya. Seharusnya kita melihat
kelebihan kita dan apapun yang kita punya dibandingkan dengan orang lain yang
mungkin tidak memiliki kelebihan itu, lalu mengembangkannya untuk melalui
“paksaan” kita tadi. Kita tidak bisa memilih untuk mendapatkan kelebihan saja,
semua itu satu paket hadir dengan kekurangannya. Terkadang kita terlalu fokus
dengan kekurangan kita yang kecil, padahal kita mempunyai kelebihan yang kita
tidak pernah perhitungkan betapa besar banyaknya.
Mungkin kalian juga sadar kalau
sebetulnya memang hidup kita ditentukan oleh waktu. Kita hidup dipaksa untuk
menjadi tua yang tidak mungkin kita bisa kembali lagi. Di dalamnya kita dipaksa
untuk menemui hal-hal baru yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya oleh kita.
Tapi jika kita melihat orang lain, memang semua itu adalah azas dimana memang
begitulah cara hidup bekerja. Jika kita tidak mencoba menyesuaikan diri dengan
itu, justru kita yang akan tertinggal oleh waktu dan tertinggal oleh mereka-mereka
yang bisa bersatu dengan waktu.
Ketika kita kecil, kita merasa sangat
menyenangkan menjadi orang dewasa. Bisa berbuat banyak hal tanpa perlu ada yang
mengatur. Tapi sebaliknya, ketika kita dewasa ternyata kita juga merasa menjadi
anak kecil adalah yang terbaik dimana kita belum mempunyai tanggung jawab atas
apapun. Ternyata semua itu hanya soal sudut pandang kita sendiri yang tidak
bisa menyesuaikan dengan apa yang sebenarnya kita sudah tahu akan terjadi.
Apapun yang terjadi, setiap orang
menjalaninya. Tidak ada alasan untuk kita meminta kemudahan ataupun privilege ini dan itu. Ketika kita
selalu membandingkan “paksaan” kita dengan orang lain, justru saat itu lah kita
mulai dekat dengan kegagalan. Orang lain yang menurut kita lebih baik dalam
melalui “paksaan”-nya, sedangkan kita yang mungkin tidak lebih baik, karena
kita tidak tahu prosesnya dan kita tidak tahu secara menyeluruh. Mungkin orang
lain ketika melihat kita juga merasa bahwa kita lah yang lebih baik daripada
dia. Tidak ada alasan kita menjustifikasi sesuatu yang memang kita tidak tahu
secara utuh.
Ketika kita dilahirkan sebagai
manusia yang sama dengan yang lainnya, pantaskah kita menyerah?
Pernahkah kita membandingkan dengan
mereka yang tidak lebih beruntung daripada kita namun kita tetap menyebutnya
bahwa mereka (yang tidak beruntung) diberikan kemudahan? Kenapa kita tidak
mulai menyalahkan diri sendiri bahwa memang diri ini yang gagal? Dunia ini
bukan tempat untuk membuat diri kita nyaman dengan fasilitas yang ada di
dalamnya, tapi dunia berusaha membuat diri kita ini menjadi pribadi yang lebih
baik dari sebelumnya meskipun caranya pahit.
Kita semua berharap pada setiap
waktu yang terlewati entah sampai kapan ini, kita bisa memanfaatkannya dengan
sebaik mungkin. Menjalankannya dengan baik, benar, bahkan memuaskan di setiap
bagiannya. Sekalipun kita semua tahu
bahwa kita sedang melawan waktu, kita semua juga tahu kalau suatu saat kita
“dipaksa” untuk kalah melawan waktu. Tidak ada alasan untuk tidak melakukan yang
terbaik di tengah paksaan yang setiap orang juga sedang menjalaninya. Apapun
yang terjadi, jangan menyerah sampai waktunya kita memang harus menyerah.
No comments:
Post a Comment