Kita
mulai segmen baru di samping #SedikitRenungan yang semoga berisi refreshment buat kalian semua yang baca.
Aku buat di sini bahasanya
lebih fleksibel dan temanya pun mengarah kepada pengalaman yang mungkin menurutku
bisa dibilang cukup lucu sih buat diceritain lagi dalam bentuk tulisan. Selagi aku juga cari bahasan buat #SedikitRenungan.
Oke,
mari kita buka cerita pertama pada segmen baru, #BerharapLucu, Dok dok
Sebenernya cerita ini udah pernah aku tulis di blog yang sama (masih
ada, tapi di--archive). Tapi
mengingat konten blog yang pada waktu itu masih dengan bahasa yang acakadut dan
layout yang sedikit berlebihan, makanya mending aku tulis lagi. Mungkin judulnya lebih ke re-tell kali ya.
Waktu
itu kalo ga salah aku masih SMP, jadi
ceritanya aku sama kakakku main ke rumah Mbah (Bahasa Jawa nya dari nenek). Biasanya
kami main ke rumah Mbah pas weekend. Terus pas mau pulangnya kami laper
dan nyoba makan tuh di warung bakso deket rumah Mbah.
Datang,
parkir, abis itu langsung pesen dong 2 mangkuk bakso porsi
jumbo, saking lapernya. Sambil nunggu, ada anak kecil keluar dari
dalam rumah dan ngajak ngobrol. Anak perempuan itu adalah anak penjual
bakso tadi, yang kira-kira usianya masih balita. Wajahnya belepotan putih dan
tangan kanannya memegang tutup sebuah wadah berwarna pink. Lucu pikirku waktu
itu.
Ga lama setelahnya
baksonya dateng. Dari segi plating, bentuk baksonya yang bulat sempurna,
bawang goreng, dan semuanya terlihat sempurna. Tanpa pikir panjang langsung
kami santap. 2 sendok, 3 sendok, Ga lama, aku liat-liatan sama masku.
Sepertinya kami saling berempati akan rasa dari bakso yang kita makan. Sebuah
jenis empati baru kepada makanan.
Kami
berdua bicara pelan.
“Ngopo
mas? Aneh yo?” (Kenapa mas? Aneh ya?) tanyaku.
“Iyo
ik, kok rodo pait yo.” (Iya nih, kok agak pahit ya) kakakku sambil julur-julurin
lidahnya
“Bener,”
aku sambil ngendus. “Wangi pisan. Terus piye?”. (Iya. Wangi lagi. Terus
gimana?)
“Tak pikir nggonaku tok. Koyo wedak yo rasane?
(Aku pikir punyaku aja. Kaya bedak ya rasanya?”
Memang
bakso yang kami makan betul-betul ga lazim dan beda dari bakso yang
biasa kami makan seumur-umur, baunya asli wangi banget dan rasanya
pahit. Mungkin ini menu resep rahasia dari warung bakso ini kami juga ga
tau. Seinget kami berdua di menu yang kami lihat tadi tidak ada tertulis
“Bakso eau de toilette”, “Bakso & Gabbana”, atau semacamnya sama sekali ga
ada, kami bener-bener yakin.
Karena
kami tidak ingin membuat headline di koran besoknya, “Telah ditemukan 2
pemuda meninggal di warung bakso secara tragis berbau harum semerbak mawar”.
Kami berdua dengan berat hati mantap untuk mengurungkan menghabiskan semangkok
bakso ini Maafkan kami bakso, kamu terlalu baik buat kami.
Lalu
kami berdua memikirkan rencana bagaimana caranya supaya bakso di mangkuk ini
bisa habis seolah-olah kami yang memakannya. Setelah beberapa saat berunding, percobaan
pertama jatuh padaku.
Aku
yang udah ngide duluan langsung sigap “Delok ki.” (Lihat nih).
Dengan
mantapnya aku nusuk bakso yang paling gede dengan garpu lalu
melemparnya dengan kuat ke arah rumah sebelah yang gelap dan sepertinya kosong.
“Klontang
klotak klotak pyorr…”
Suara
barang pecah dan jatuh terdengar bersinergi sangat kenceng. Sepertinya
lemparan tadi mengenai kaca atau semacamnya. Celaka sudah kalau sampai penjual
bakso tahu kami membuang bakso yang ia hidangkan dengan sempurnanya ternyata
sia-sia. Tamatlah riwayat kami, pikirku
Setelah
beberapa saat kami tunggu ternyata tidak ada reaksi dari dalam rumah. Penjual
bakso ternyata tidak keluar untuk mengecek keadaan. Aman. Percobaan pertama,
berhasil !
Percobaan
kedua, masku masih mencari akal. 2 menit, 3 menit, tiba-tiba ada kucing yang
lewat. Kami berdua saling lihat dengan wajah jahat. Seketika ide untuk
memberikan semua sisa bakso yang ada kepada kucing pun muncul. Di waktu yang
bersamaan kami juga merasa kasihan jika nanti ternyata kucing tersebut tanpa
sepengetahuan kami besoknya sakit dan mati, semua kemungkinan terburuk yang
bisa terjadi pada kucing tersebut tiba-tiba muncul. Seandainya dia manusia
pasti ga bakal berpikir dua kali buat nerima tawaran bakso gratis
dari kami.
Kami
coba bakso tersebut kepada kucing secara bertahap. Satu bakso, dua bakso,
kucing tersebut tidak terlihat keracunan atau menunjukkan tanda-tanda tidak
sehat.
Akhirnya
bakso terakhir habis sudah dimakan oleh kucing tersebut. Rasa syukur kami
panjatkan atas bantuan yang datang dari kucing satu ini di saat kami
benar-benar kebingungan. Kami bingung harus membalas dengan cara apa atas aksi heroic
kucing ini. Yang bisa kami lakukan hanya berdoa semoga ke depannya kucing
tersebut tetap bisa meneruskan hidupnya dan memiliki masa depan yang cerah. Kami
sudah berencana memesan karangan bunga jika nantinya kucing ini benar-benar
mati. Maafin kami ya, cing.
Tiba
saatnya giliran kami yang beraksi, waktunya melakukan pembayaran.
Kami
berdua saling liat, mangut, dan beranjak.
“Sampun
bu.” (Sudah bu) kataku.
Tak
lama penjual bakso itu nongol. Kami membayar sambil mengelus-elus perut
seolah kami merasa kenyang dengan bakso yang kami makan.
“Enak
to mas?” (Enak kan mas?) tanya penjual bakso tersebut dengan pedenya.
“Wah
baksone rasane bedo koyo biasane bu. Mantep pokoke.” (Wah rasa baksonya beda
dari yang biasanya bu. Mantap pokoknya.) Sebetulnya kami ingin jawab jujur tapi
ga tega ngeliat wajah ibu itu yang nanyain rasa baksonya
dengan bangga, ah sudahlah.
“Iyo
no, special kok . Sok meneh mampir mas. Koncone dijak ” (Iya dong, special kok.
Kapan-kapan mampir lagi mas. Temennya diajak)
Kaget
denger jawaban ibu, aku nyeletuk “Eh, i...iya bu.”
Dalam
hati aku mikir, berapa harga yang harus kubayar atas nyawa yang melayang
kalo aku ngajak temen makan disini, sebuah rencana yang ga bakal mungkin
aku tunaikan.
“Susuke
sik yo mas, tak jupukke.” (Kembaliannya sebentar ya mas, aku ambilkan)
Sambil
nunggu, aku liat-liat isi warung. Ada foto keluarga terpasang di
dinding, di dalam foto itu ada ibu penjual bakso tadi dengan suaminya dan anak
perempuannya tadi yang masih bayi, mungkin foto itu diambil 2 tahun yang lalu.
Gerobak
bakso tertata rapi dengan perlengkapan perbaksoan pada umumnya, ada sayuran,
mie, bakso, lengkap dengan alat makannya. Di gerobak juga tertempel stiker yang
mungkin awalnya bertuliskan “BAKSO ENAK SEDEP” tapi karena beberapa hurufnya ilang
menjadi terbaca “BAKSO EAK SEEP”.
Sampe ada sesuatu yang bikin
kaget. Di samping panci kuah bakso ada bedak bayi merek Kasens yang tumpah
Matih,
pikirku. Lelucon macam apa ini. Pembunuhan berencana yang sungguh di luar
dugaan.
Dari
awal aku udah curiga kalau balita anak penjual bakso tadi belepotan
putih kena bedak dan tutup warna pink yang dipegang tadi adalah tutup
wadah bedak bayi. Sempurna sekali rencana yang dibuat oleh penjual bakso ini
pikirku. Dengan melibatkan anak perempuannya yang tanpa dosa.
Masih
dalam kondisi yang syok tiba-tiba ibu itu keluar dari dalam rumah “Iki
yo mas” (Ini ya mas), ibu tersebut sambil memberikan uang kembalian.
“Inggih
bu.” (Iya bu) kataku sambil berkaca-kaca.
“Sampeyan
ngopo mas?” (Kamu kenapa mas?) tanya ibu itu heran.
“Mboten bu,” (Tidak bu) sambil sedikit
senggukan aku nyoba jawab sebisaku. “Kulo namung syukur saget kenal kalih ibu.”
(Aku cuma bersyukur bisa kenal sama ibu)
Ibu
itu lalu menjawab dengan sangat innocent dan wajah gembira. “Oh, iyo
mas. Tenang wae, kapan-kapan nek luwe mrene wae. Tak siapke bakso sing luwih
enak” (Oh, iya mas. Tenang aja kapan-kapan kalo kesini aja. Aku siapin bakso
yang lebih enak)
Kata-kata
yang di telingaku seolah-olah jadi terdengar “Iya mas kalo udah bosan
hidup kesini aja. Bakal aku siapin bakso dengan campuran bedak merek paling
mahal”
Kami
berdua pamit. Aku dan kakakku pulang ke rumah mengendarai motor dengan sangat
pelan, tatapan sedikit kosong. Di jalan
kami saling maaf-maafan dengan penuh penghayatan, baru kali itu aku ngerasain
dekatnya adik dan kakakku. Dan itu menurutku adalah maaf-maafan paling khidmat
selain lebaran.
Di
jalan aku mikir, wasiat apa yang musti aku tulis ntar di rumah. Ada
berapa orang yang aku utangin, ibu kantin yang selalu memberikan bon
dengan cuma-cuma. Berapa bolpoin yang sudah aku kumpulin dari loker meja
selama di kelas sehabis pulang sekolah. Semuanya harus sudah kelar urusannya
sebelum waktu kami bener-bener habis. Harapanku di atas motor waktu itu sangat
sepele, aku cuma berharap semoga esok aku masih bisa melihat mentari pagi.
Sedramatis itu.
Semenjak kejadian itu, sebelum berencana
makan bakso pasti aku selalu liat dulu apakah ada bedak berserakan atau anak
kecil perempuan yang mencurigakan di sekitar warung. Kedua hal itu selalu jadi
pedoman sebelum memesan bakso.
No comments:
Post a Comment