Friday 9 August 2019

#BerharapLucu, Bagian 1 (Bakso Eau de Toilette)


Kita mulai segmen baru di samping #SedikitRenungan yang semoga berisi refreshment buat kalian semua yang baca. Aku buat di sini bahasanya lebih fleksibel dan temanya pun mengarah kepada pengalaman yang mungkin menurutku bisa dibilang cukup lucu sih buat diceritain lagi dalam bentuk tulisan. Selagi aku juga cari bahasan buat #SedikitRenungan.

Oke, mari kita buka cerita pertama pada segmen baru, #BerharapLucu, Dok dok

Sebenernya cerita ini udah pernah aku tulis di blog yang sama (masih ada, tapi di--archive). Tapi mengingat konten blog yang pada waktu itu masih dengan bahasa yang acakadut dan layout yang sedikit berlebihan, makanya mending aku tulis lagi. Mungkin judulnya lebih ke re-tell kali ya.

Waktu itu kalo ga salah aku masih SMP, jadi ceritanya aku sama kakakku main ke rumah Mbah (Bahasa Jawa nya dari nenek). Biasanya kami main ke rumah Mbah pas weekend. Terus pas mau pulangnya kami laper dan nyoba makan tuh di warung bakso deket rumah Mbah.



Datang, parkir, abis itu langsung pesen dong 2 mangkuk bakso porsi jumbo, saking lapernya. Sambil nunggu, ada anak kecil keluar dari dalam rumah dan ngajak ngobrol. Anak perempuan itu adalah anak penjual bakso tadi, yang kira-kira usianya masih balita. Wajahnya belepotan putih dan tangan kanannya memegang tutup sebuah wadah berwarna pink. Lucu pikirku waktu itu.

Ga lama setelahnya baksonya dateng. Dari segi plating, bentuk baksonya yang bulat sempurna, bawang goreng, dan semuanya terlihat sempurna. Tanpa pikir panjang langsung kami santap. 2 sendok, 3 sendok, Ga lama, aku liat-liatan sama masku. Sepertinya kami saling berempati akan rasa dari bakso yang kita makan. Sebuah jenis empati baru kepada makanan.

Kami berdua bicara pelan.

“Ngopo mas? Aneh yo?” (Kenapa mas? Aneh ya?) tanyaku.

“Iyo ik, kok rodo pait yo.” (Iya nih, kok agak pahit ya) kakakku sambil julur-julurin lidahnya

“Bener,” aku sambil ngendus. “Wangi pisan. Terus piye?”. (Iya. Wangi lagi. Terus gimana?)

“Tak pikir nggonaku tok. Koyo wedak yo rasane? (Aku pikir punyaku aja. Kaya bedak ya rasanya?”

Memang bakso yang kami makan betul-betul ga lazim dan beda dari bakso yang biasa kami makan seumur-umur, baunya asli wangi banget dan rasanya pahit. Mungkin ini menu resep rahasia dari warung bakso ini kami juga ga tau. Seinget kami berdua di menu yang kami lihat tadi tidak ada tertulis “Bakso eau de toilette”, “Bakso & Gabbana”, atau semacamnya sama sekali ga ada, kami bener-bener yakin.

Karena kami tidak ingin membuat headline di koran besoknya, “Telah ditemukan 2 pemuda meninggal di warung bakso secara tragis berbau harum semerbak mawar”. Kami berdua dengan berat hati mantap untuk mengurungkan menghabiskan semangkok bakso ini Maafkan kami bakso, kamu terlalu baik buat kami.

Lalu kami berdua memikirkan rencana bagaimana caranya supaya bakso di mangkuk ini bisa habis seolah-olah kami yang memakannya. Setelah beberapa saat berunding, percobaan pertama jatuh padaku.

Aku yang udah ngide duluan langsung sigap “Delok ki.” (Lihat nih).

Dengan mantapnya aku nusuk bakso yang paling gede dengan garpu lalu melemparnya dengan kuat ke arah rumah sebelah yang gelap dan sepertinya kosong.

“Klontang klotak klotak pyorr…”

Suara barang pecah dan jatuh terdengar bersinergi sangat kenceng. Sepertinya lemparan tadi mengenai kaca atau semacamnya. Celaka sudah kalau sampai penjual bakso tahu kami membuang bakso yang ia hidangkan dengan sempurnanya ternyata sia-sia. Tamatlah riwayat kami, pikirku

Setelah beberapa saat kami tunggu ternyata tidak ada reaksi dari dalam rumah. Penjual bakso ternyata tidak keluar untuk mengecek keadaan. Aman. Percobaan pertama, berhasil !

Percobaan kedua, masku masih mencari akal. 2 menit, 3 menit, tiba-tiba ada kucing yang lewat. Kami berdua saling lihat dengan wajah jahat. Seketika ide untuk memberikan semua sisa bakso yang ada kepada kucing pun muncul. Di waktu yang bersamaan kami juga merasa kasihan jika nanti ternyata kucing tersebut tanpa sepengetahuan kami besoknya sakit dan mati, semua kemungkinan terburuk yang bisa terjadi pada kucing tersebut tiba-tiba muncul. Seandainya dia manusia pasti ga bakal berpikir dua kali buat nerima tawaran bakso gratis dari kami.

Kami coba bakso tersebut kepada kucing secara bertahap. Satu bakso, dua bakso, kucing tersebut tidak terlihat keracunan atau menunjukkan tanda-tanda tidak sehat.

Akhirnya bakso terakhir habis sudah dimakan oleh kucing tersebut. Rasa syukur kami panjatkan atas bantuan yang datang dari kucing satu ini di saat kami benar-benar kebingungan. Kami bingung harus membalas dengan cara apa atas aksi heroic kucing ini. Yang bisa kami lakukan hanya berdoa semoga ke depannya kucing tersebut tetap bisa meneruskan hidupnya dan memiliki masa depan yang cerah. Kami sudah berencana memesan karangan bunga jika nantinya kucing ini benar-benar mati. Maafin kami ya, cing.

Tiba saatnya giliran kami yang beraksi, waktunya melakukan pembayaran.

Kami berdua saling liat, mangut, dan beranjak.

“Sampun bu.” (Sudah bu) kataku.

Tak lama penjual bakso itu nongol. Kami membayar sambil mengelus-elus perut seolah kami merasa kenyang dengan bakso yang kami makan.

“Enak to mas?” (Enak kan mas?) tanya penjual bakso tersebut dengan pedenya.

“Wah baksone rasane bedo koyo biasane bu. Mantep pokoke.” (Wah rasa baksonya beda dari yang biasanya bu. Mantap pokoknya.) Sebetulnya kami ingin jawab jujur tapi ga tega ngeliat wajah ibu itu yang nanyain rasa baksonya dengan bangga, ah sudahlah.

“Iyo no, special kok . Sok meneh mampir mas. Koncone dijak ” (Iya dong, special kok. Kapan-kapan mampir lagi mas. Temennya diajak)

Kaget denger jawaban ibu, aku nyeletuk “Eh, i...iya bu.”

Dalam hati aku mikir, berapa harga yang harus kubayar atas nyawa yang melayang kalo aku ngajak temen makan disini, sebuah rencana yang ga bakal mungkin aku tunaikan.

“Susuke sik yo mas, tak jupukke.” (Kembaliannya sebentar ya mas, aku ambilkan)

Sambil nunggu, aku liat-liat isi warung. Ada foto keluarga terpasang di dinding, di dalam foto itu ada ibu penjual bakso tadi dengan suaminya dan anak perempuannya tadi yang masih bayi, mungkin foto itu diambil 2 tahun yang lalu.

Gerobak bakso tertata rapi dengan perlengkapan perbaksoan pada umumnya, ada sayuran, mie, bakso, lengkap dengan alat makannya. Di gerobak juga tertempel stiker yang mungkin awalnya bertuliskan “BAKSO ENAK SEDEP” tapi karena beberapa hurufnya ilang menjadi terbaca “BAKSO EAK SEEP”.

Sampe ada sesuatu yang bikin kaget. Di samping panci kuah bakso ada bedak bayi merek Kasens yang tumpah

Matih, pikirku. Lelucon macam apa ini. Pembunuhan berencana yang sungguh di luar dugaan.

Dari awal aku udah curiga kalau balita anak penjual bakso tadi belepotan putih kena bedak dan tutup warna pink yang dipegang tadi adalah tutup wadah bedak bayi. Sempurna sekali rencana yang dibuat oleh penjual bakso ini pikirku. Dengan melibatkan anak perempuannya yang tanpa dosa.

Masih dalam kondisi yang syok tiba-tiba ibu itu keluar dari dalam rumah “Iki yo mas” (Ini ya mas), ibu tersebut sambil memberikan uang kembalian.

“Inggih bu.” (Iya bu) kataku sambil berkaca-kaca.

“Sampeyan ngopo mas?” (Kamu kenapa mas?) tanya ibu itu heran.

“Mboten bu,” (Tidak bu) sambil sedikit senggukan aku nyoba jawab sebisaku. “Kulo namung syukur saget kenal kalih ibu.” (Aku cuma bersyukur bisa kenal sama ibu)

Ibu itu lalu menjawab dengan sangat innocent dan wajah gembira. “Oh, iyo mas. Tenang wae, kapan-kapan nek luwe mrene wae. Tak siapke bakso sing luwih enak” (Oh, iya mas. Tenang aja kapan-kapan kalo kesini aja. Aku siapin bakso yang lebih enak)

Kata-kata yang di telingaku seolah-olah jadi terdengar “Iya mas kalo udah bosan hidup kesini aja. Bakal aku siapin bakso dengan campuran bedak merek paling mahal”

Kami berdua pamit. Aku dan kakakku pulang ke rumah mengendarai motor dengan sangat pelan,  tatapan sedikit kosong. Di jalan kami saling maaf-maafan dengan penuh penghayatan, baru kali itu aku ngerasain dekatnya adik dan kakakku. Dan itu menurutku adalah maaf-maafan paling khidmat selain lebaran.

Di jalan aku mikir, wasiat apa yang musti aku tulis ntar di rumah. Ada berapa orang yang aku utangin, ibu kantin yang selalu memberikan bon dengan cuma-cuma. Berapa bolpoin yang sudah aku kumpulin dari loker meja selama di kelas sehabis pulang sekolah. Semuanya harus sudah kelar urusannya sebelum waktu kami bener-bener habis. Harapanku di atas motor waktu itu sangat sepele, aku cuma berharap semoga esok aku masih bisa melihat mentari pagi. Sedramatis itu.
           
Semenjak kejadian itu, sebelum berencana makan bakso pasti aku selalu liat dulu apakah ada bedak berserakan atau anak kecil perempuan yang mencurigakan di sekitar warung. Kedua hal itu selalu jadi pedoman sebelum memesan bakso.

No comments:

Post a Comment

Popular Posts