Bagian kali ini masih ada
kaitannya dengan bagian sebelum ini yang saya pernah nyebut kalo
sebisa mungkin jangan terlalu menjadikan diri kita sebagai parameter mutlak
apalagi dalam berbagai hal, sekalipun sudah berpengalaman. Sebetulnya penekanannya
lebih ke jangan terlalu ambisius dan menunjukkan kalau memang benar sih.
Jadi lebih ke arah etika dan emosional. Gitu, backstory-nya,
cukup.
Penguasaan diri yang saya
maksud dalam hal apapun sebetulnya, bukan hanya kaitannya dengan benar atau
salah. Bagus banget kalau misalnya di keseharian kita bisa ngontrol
diri, mengontrol untuk menjaga etika dan emosi, mengontrol untuk jangan sampai
melukai orang lain.
Saya lihat memang ada orang
yang lebih bisa merasa dirinya benar daripada tahu diri, kata orang Jawa biso
o rumongso, ojo rumongso biso (bisalah merasa, namun jangan merasa bisa). Bisa merasakan kekurangan
orang lain dan jangan merasa bisa atas kemampuan yang sudah kita punya. Bisa merasa yang dimaksud adalah agar orang selalu mawas dan menganggap dirinya ga
selalu benar, tentunya juga masih memiliki banyak keterbatasan. Dengan
adanya tahu diri itu orang lain pasti akan lebih menghargai. Lalu merasa
bisa merupakan awal dari kemunduran, dimana orang mulai berhenti belajar.
Ketika orang berhenti belajar ia ga akan ngeliat kiri kanannya dan
mungkin cepat atau lambat ia tidak sadar bahwa sudah mengalami kemunduran.
Saya tidak menyalahkan mereka
yang bisa dibilang ngebet atau ambisius adalah salah. Bisa jadi mereka
memperjuangkan sesuatu yang memang benar dan itu harus diperjuangkan, orang-orang
ini sangat kita butuhkan pada momen-momen yang tepat. Yang salah adalah mereka
yang mencari keuntungan pribadi di balik perjuangannya, sehingga apa yang mereka
perjuangkan sebetulnya tidak lebih hanya sekedar materi. Begitu juga mereka yang
cenderung diam dan tidak beradu. Bisa jadi mereka memilih diam karena mereka
tidak ingin menambah kekacauan yang ada atau mungkin apa yang coba mereka sampaikan
sudah tersampaikan oleh orang lain. Tapi gawat juga semisal mereka diam karena
pada posisi tersebut mereka diuntungkan dan pada saat yang bersamaan banyak orang
lain yang dirugikan.
Sebagai contoh, saya dulu juga
pernah pas awal-awal SMP karena merasa cenderung dominan di dalam kelas dan
menganggap bahwa segala sesuatunya harus sesuai apa yang saya inginkan. Padahal
belum tentu yang saya inginkan adalah yang terbaik bagi semuanya. Bisa jadi ada
beberapa orang yang dirugikan, atau bahkan banyak. Ya memang pada masa itu masih
banyak gejolak dan transisi dari anak-anak menuju dewasa. Awal-awal ada
beberapa harapan yang tidak diterima, pasti agak dongkol juga waktu itu.
Tapi justru karena saya pernah melalui fase itu akhirnya saya jadi paham
rasanya belajar menerima penolakan. Memang tidak seluruhnya berjalan dengan mulus.
Ada kalanya kita kurang sreg dengan hasil yang ada karena tidak sesuai
dengan keinginan hati. Nha, justru ini yang kurang pas. Baiknya kita selalu
menerima semua hasil yang ada dengan baik dan menjalankannya dengan sepenuh hati
dan optimal, karena itu sudah menjadi keputusan bersama.
Sebetulnya faktornya banyak
ketika kita mempunyai kecenderungan tertentu, apalagi lingkungan yang terdekat.
Yang jelas tetap kuasai diri, dimanapun berada, apapun situasinya. Jangan
sampai kita melukai personal branding diri kita yang sudah kita bangun dengan
kesalahan kecil yang mungkin sebetulnya tidak perlu dan pada akhirnya berakibat
orang-orang menjadi berpikiran yang tidak-tidak tentang diri kita. People
have to look around, cause we love to live in harmony not elegy.
Sampai jumpa di post
selanjutnya !
No comments:
Post a Comment