Saturday 21 September 2019

#SedikitRenungan, Bagian 21 (Penguasaan Diri)

https://www.pexels.com/photo/astronomy-cosmos-dark-dawn-262738/
Bagian kali ini masih ada kaitannya dengan bagian sebelum ini yang saya pernah nyebut kalo sebisa mungkin jangan terlalu menjadikan diri kita sebagai parameter mutlak apalagi dalam berbagai hal, sekalipun sudah berpengalaman. Sebetulnya penekanannya lebih ke jangan terlalu ambisius dan menunjukkan kalau memang benar sih. Jadi lebih ke arah etika dan emosional. Gitu, backstory-nya, cukup.
Penguasaan diri yang saya maksud dalam hal apapun sebetulnya, bukan hanya kaitannya dengan benar atau salah. Bagus banget kalau misalnya di keseharian kita bisa ngontrol diri, mengontrol untuk menjaga etika dan emosi, mengontrol untuk jangan sampai melukai orang lain.

Saya lihat memang ada orang yang lebih bisa merasa dirinya benar daripada tahu diri, kata orang Jawa biso o rumongso, ojo rumongso biso (bisalah merasa, namun jangan merasa bisa). Bisa merasakan kekurangan orang lain dan jangan merasa bisa atas kemampuan yang sudah kita punya. Bisa merasa yang dimaksud adalah agar orang selalu mawas dan menganggap dirinya ga selalu benar, tentunya juga masih memiliki banyak keterbatasan. Dengan adanya tahu diri itu orang lain pasti akan lebih menghargai. Lalu merasa bisa merupakan awal dari kemunduran, dimana orang mulai berhenti belajar. Ketika orang berhenti belajar ia ga akan ngeliat kiri kanannya dan mungkin cepat atau lambat ia tidak sadar bahwa sudah mengalami kemunduran.
Saya tidak menyalahkan mereka yang bisa dibilang ngebet atau ambisius adalah salah. Bisa jadi mereka memperjuangkan sesuatu yang memang benar dan itu harus diperjuangkan, orang-orang ini sangat kita butuhkan pada momen-momen yang tepat. Yang salah adalah mereka yang mencari keuntungan pribadi di balik perjuangannya, sehingga apa yang mereka perjuangkan sebetulnya tidak lebih hanya sekedar materi. Begitu juga mereka yang cenderung diam dan tidak beradu. Bisa jadi mereka memilih diam karena mereka tidak ingin menambah kekacauan yang ada atau mungkin apa yang coba mereka sampaikan sudah tersampaikan oleh orang lain. Tapi gawat juga semisal mereka diam karena pada posisi tersebut mereka diuntungkan dan pada saat yang bersamaan banyak orang lain yang dirugikan.
Sebagai contoh, saya dulu juga pernah pas awal-awal SMP karena merasa cenderung dominan di dalam kelas dan menganggap bahwa segala sesuatunya harus sesuai apa yang saya inginkan. Padahal belum tentu yang saya inginkan adalah yang terbaik bagi semuanya. Bisa jadi ada beberapa orang yang dirugikan, atau bahkan banyak. Ya memang pada masa itu masih banyak gejolak dan transisi dari anak-anak menuju dewasa. Awal-awal ada beberapa harapan yang tidak diterima, pasti agak dongkol juga waktu itu. Tapi justru karena saya pernah melalui fase itu akhirnya saya jadi paham rasanya belajar menerima penolakan. Memang tidak seluruhnya berjalan dengan mulus. Ada kalanya kita kurang sreg dengan hasil yang ada karena tidak sesuai dengan keinginan hati. Nha, justru ini yang kurang pas. Baiknya kita selalu menerima semua hasil yang ada dengan baik dan menjalankannya dengan sepenuh hati dan optimal, karena itu sudah menjadi keputusan bersama. 
Sebetulnya faktornya banyak ketika kita mempunyai kecenderungan tertentu, apalagi lingkungan yang terdekat. Yang jelas tetap kuasai diri, dimanapun berada, apapun situasinya. Jangan sampai kita melukai personal branding diri kita yang sudah kita bangun dengan kesalahan kecil yang mungkin sebetulnya tidak perlu dan pada akhirnya berakibat orang-orang menjadi berpikiran yang tidak-tidak tentang diri kita. People have to look around, cause we love to live in harmony not elegy.
Sampai jumpa di post selanjutnya !

No comments:

Post a Comment

Popular Posts