Sunday 31 May 2020

#BerharapLucu, Bagian 3 (Cerita 55 Part 1)



            Cerita ini judulnya “Cerita 55”, sampe sekarang aku juga ngga tau kenapa orang-orang itu semboyannya “55”. 55 adalah semboyan Pusat Pendidikan Polisi Militer. Awalnya aku pikir karena mereka berisi atlet olahraga yang suka main futsal, jadi setim isi 5 orang vs 5 orang, tapi sepertinya hipotesis ini kurang tepat. Sampe sekarang aku juga belum ngerti maksud dari 55. Tapi yang jelas waktu itu kami pernah diajarin ketika perkenalan harus teriak “55, 55, PIHC go!”, jadi semacam penyemangat gitu. Kita mah daripada kena hukum lebih baik idem aja.

Setting cerita ini dimulai pas aku ikut latihan militer, di Cimahi tepatnya, beberapa waktu yang lalu. Di situ kami satu berjumlah 80 orang, dikarantina selama 2 minggu di Pusat Pendidikan Polisi Militer. Tidak boleh memegang handphone, atau berinteraksi dengan pihak luar selama berkegiatan di sini. Selama itu kami ngerasain pembelajaran berharga yang memang harus dilalui melalui proses yang orang lain mungkin bilang sedikit berlebihan. Tapi sebenernya ngga juga, menurutku orang-orang itu yang belum pernah ngerasain aja kaya gimana (meskipun sebetulnya aku awalnya juga depresi, supaya kalian yang baca tenang).

       

     Oke mulai dari awal, kami ber-80 datang ke kantor pakai atasan putih dipadu dengan training warna item dan sepatu kets, kaya guru olahraga mau ujian praktik. Tinggal pake co-card, jadilah kita senam berjamaah.

Hari itu sebetulnya kami acaranya hanya seremonial, berkenalan, dan makan-makan. Tapi ternyata di akhir acara ada sedikit plot twist. Tiba-tiba ada 3 orang berpakaian tentara, satu perempuan dan dua laki-laki, masuk ke dalam ruangan yang sama dengan kami. Kupikir awalnya beliau-beliau itu ngejagain acara biar berlangsung dengan aman. Keren banget pikirku makan-makan aja dijagain sama tentara. Setelah acara makan-makan selesai, ternyata pembawa acara justru mempersilakan tentara tadi untuk mengambil alih acara untuk memandu kami. Hawa-hawa kurang enak mulai terlihat. Spaneng, mencekam, semuanya jadi satu. “Matih kita” pikirku

“Selamat pagi!” Teriak salah satu ibu tentara itu

“Pagi!” jawab kami beramai-ramai

“Selamat pagi...!!!” teriak lagi

“Pagi...!!!” kami teriak lebih kenceng mencoba mengimbangi

“SELAMAT PAGI!!!” Teriak lagi

“PAGEE!!! Kami bingung, ibu tentara ini ngga dengar apa gimana, kami sampai 3 kali ngulang-ngulang selamat pagi ini.

“Kalian habis makan, suara kalian loyo sekali. Saya yang sendiri saja suaranya bisa kencang masa kalian kalah sama saya. SELAMAT PAGI...!!!”

“PAGEEE...!!!” menurutku ini teriakan paling keras dari kami, kalau saja waktu itu kami teriaknya sampai 33 kali mungkin sudah seperti zikir.

“Nha ya gitu, itu baru namanya karyawan baru.” Syukurlah, aku sudah kepikiran buat ngeluarin teknik scream kalo misal masih disuruh ngulang lagi.

“Perkenalkan nama saya Komandan Fatimah. Beliau ini Komandan Arton dan Komandan Sholih.” Sambil nunjuk-nunjuk mas-mas tentara dua yang lain. ”Kami ini dari Pusat Pendidikan Polisi Militer (Pusdikpom), Cimahi. Perusahaan meminta kami untuk mendidik teman-teman semua bersama kami selama dua minggu.”

Kami yang baru ngerasain euforia jadi karyawan baru, praktis langsung ilang gara-gara momen itu. Di gedung kami udah diminta push up dan dibentak-bentak sama polisi militer yang datang waktu itu. Aku yang waktu itu baru tau yang namanya ngeliat tentara perempuan agak heran juga, bisa tegas dan gagah gitu “Keren juga ini orang” pikirku sambil mangut-mangut.

Setelahnya kami dibagi menjadi tiga peleton yang sudah ditentukan oleh Pusdikpom dengan memanggil nama kami satu per satu. Aku kebetulan berada di Peleton 1 dan di situ aku belum mengenal satu sama lain karena baru datang dan gabung dengan mereka.

Kami juga diajarin yel-yel yang kalo semisal kita disuruh nyanyi bareng tiba-tiba lupa bakal kena hukuman. Waktu itu aku kepikirannya cuma satu, mendingan aku lip sync ketika yang lain pada nyanyi, sebuah kamuflase yang sempurna. Waktu itu yang ngajar yel-yel Komandan Sholih.

“Ya ini ada beberapa yel-yel, tolong dicatat. Nanti teman-teman semua ketika sudah sampai di Pusdikpom harus sudah hafal. Nanti di perjalanan tolong dihafalkan.” Kata Komandan Sholih. PR sekali di perjalanan kami harus ngehafal lagu-lagu itu pikirku.

Lalu ia mulai nyanyi “Kami PIHC berjiwa satria, tidak pernah mengenal keluh kesah. Apapun .....” Tiba-tiba hening, kami berhenti mencatat, Komandan Sholih tampak gundah, seperti lupa lirik . “Apapun...tantangan...halangan...rintangan” makin lama suaranya mengecil, kami bingung mau catat yang mana. “Sik..sik” Kami liat-liatan, oke ini sepertinya yel-yelnya memang dadakan bikinnya, kami sedikit maklum.

“Oke, sudah ketemu. Lanjut ya. Apapun rintangan tak jadi masalah, maju terus pantang mundur demi kehormatan....” dan begitu seterusnya sampai yel-yel ketiga. Dari situ aku kepikiran sebetulnya Komandan Sholih ini bakat jadi penyanyi, bisa nulis lagu dalam waktu yang singkat, meskipun pada beberapa bait ada beberapa lirik yang dari segi ketukannya kurang pas diucapkan.

Setelah diajarin tiga yel-yel sekaligus kami disuruh turun dan naik bus menuju ke tempat pelatihan kami, Pusat Pendidikan Polisi Militer. Kami dengan polosnya ikut arahan dari komandan-komandan itu,.

“Teman-teman setelah ini kalian turun dan masukkan barang bawaan di truk untuk diangkut ke Cimahi.” Kata Komandan Fatimah.

Sesaat aku mikir, kok ngga ada yang pura-pura sakit atau pura-pura ayan pikirku, minimal pura-pura kesurupan lah biar latihan militer ini ngga jadi. Udah tau disana kami bakal ditempa habis-habisan tapi pada diem aja. Oke, strategi pura-pura sakit tidak terlaksana.

Di dalam bus kami masih enjoy bercanda kesana kemari dengan temen duduk. Waktu itu aku duduk sebangku sama Mas Bayu, orang Malang, badannya hitam, kekar, orangnya jayus, cocok sama mukanya. Di dalam bus kami banyak bercanda.

“Salam kenal, mas. Aku Bram. Asli mana mas?” aku mulai pembicaraan

“Halo, aku Bayu. Asli Malang. Kalo masnya mana?”

“Ponorogo. Woalah yowis jagongan nggawe boso Jowo wae nek ngono. Angkatan piro sampeyan?” (Ya sudah ngobrol pakai bahasa Jawa saja kalo gitu. Angkatan berapa mas?)

“2012. Lha awakmu?” (2012. Kamu?)

“2014. Wah Mas Bayu berarti iki aku nyeluke.” (2014. Wah, Mas Bayu ini aku berarti manggilnya.) karena memang banyak banget orang-orang yang berbeda-beda angkatannya, ada yang berjenggot panjang kaya sudah berkeluarga, ada yang kecil banget kukira belum lulus kuliah ternyata malah angkatan atas. Makanya kutanya tahun angkatannya biar ga salah manggil. Setelah ngobrol beberapa saat ternyata Mas Bayu ini ayahnya seorang tentara makanya badannya juga ikut-ikutan kekar, ngga heran.

Setelah bercanda ngalor ngidul selama 3 jam akhirnya kami sampai di tempat tujuan, Pusat Pendidikan Polisi Militer. “Keren sekali” dalam hatiku waktu itu, karena baru pertama kali masuk markas tentara. Auranya udah beda dari sebelumnya, rasa-rasanya aku jadi langsung siap perang ketika masuk gapura waktu itu.

Memang selama di dalam bus tadi kami masih dibawa santai tapi ternyata ketika sudah sampai di sana udah ga bisa bercanda lagi, kita di bus haha hihi kesana kemari memang jadi semacam permulaan sebelum kami bener-bener ngga bisa ketawa.

            “Ayo kalian semua harus sudah masuk ke gedung itu dalam 5 hitungan. 1....2...3...” perintah Komandan Fatimah

            Matih pikirku, mana mungkin kami yang baru bangun tidur ini bisa ke sana dengan cepat hanya dalam hitungan 5. Udah gitu beberapa dari kami ada yang berbadan besar, betul-betul misi yang berat buat dia. Kami langsung lari secepatnya supaya ngga kena hukuman.

            Sampe di tempat kita langsung disuruh lari ke Gedung olahraga terus ngambil perlengkapan masing-masing yang udah disiapin. Oke, disitu ada 80 tas yang kita musti nyari milik masing-masing dalam 10 hitungan, “Ini mah udah pasti kena hukum” pikirku.

            Setelah tas ketemu, selanjutnya bagi yang laki-laki diwajibkan buat cukur gundul. Aku yang seumur hidup belum pernah cukur gundul denger pengumuman itu agak sedikit syok. Ngga berapa lama temen-temen ngga ada yang maju, akhirnya aku maju duluan. Sewaktu dicukur aku sedikit basa-basi sama tukang cukurnya

            “Pelan-pelan ya pak hehe.”

            (hening)

            Bapaknya hening, antara dia ngga paham bahasaku atau mungkin karena dia orang Sunda makanya cuma paham Bahasa Sunda.

Akhirnya aku mencoba berdialog dengan mengeluarkan wawasan Bahasa Sunda yang aku tahu “Aing nyaho teh?”

            “Tenang aja mas, saya hati-hati kok.” Bapaknya baru menjawab pertanyaanku yang udah selang 2 menit, delay-nya cukup lumayan untuk seorang bapak-bapak.

            “Oh gitu ya pak. Tiap tahun langganan terus ya pak buat nyukur siswa pendidikan?”

            “Iya mas, sampe bosen saya jenis cukurannya itu-itu aja”, ya iyalah masa iya siswa militer mau dikasih model rambut mohawk, dikiranya ini mau pelatihan apa mau nyimeng.

            Ngga selang lama, bapaknya nyaut lagi “Udah mas, masnya bisa balik lagi ke tempat”

            “Wah cepet ya pak. Biasanya kalo cukur di sini tarifnya berapa pak?”

            “Ya sekitar 15 ribu – 20 ribu mas.”

            “Mayan juga ya. Oke deh, makasih pak.” Semenjak perbincangan singkat itu aku jadi kepikiran nanti kalo udah tua mau buka jasa cukur khusus gundul, udah ngga perlu pake teori, singkat, dan gampang. Sebuah prospek yang menjanjikan.

            Oke, setelah aku digundul aku balik ke barisan. Sejauh ini belum ada yang terlihat jijik atau nahan muntah setelah melihat bentuk wajahku yang sekarang, aman.

Setelah semua selesai digundul, diminta buat ambil perlengkapan yang disiapin tadi buat dipakai, mulai dari baju, celana, gesper, sepatu, sampai cara nali sepatu semuanya musti bener. Setelah itu kami sempat diajarkan baris berbaris (PBB) sebentar sesuai dengan peleton yang sudah dibuat sebelumnya di Kantor tadi. Memutari gedung olahraga itu sampai kira-kira pukul 9 malam.

Komandan Fatimah lalu mengambil alih barisan “Baik, hari ini cukup. Teman-teman setelah ini silakan menuju ke barak masing-masing dan beristirahat. Besok kegiatan dimulai jam 4 pagi dengan bersih-bersih (mandi), salat.” Buset pagi banget, aku jam 5 yang biasanya baru bangun lalu salat setelah itu tidur lagi, ini disuruh untuk mandi dan salat. Sebuah permulaan yang sempurna

Saatnya kembali ke barak. Laki-laki dan perempuan baraknya dipisah, ya jelas dong. Di dalem barak kita udah ditentuin tiap kasurnya bakal tidur sama siapa. Waktu itu aku sekasur sama Chati, aku di ranjang atas, Chati di ranjang bawah. Ranjangnya dari besi, khas angkatan militer. Karena aku ada di atas, gerak dikit aja ranjangnya udah bersuara “ngik..ngik..ngik” akhirnya mau tidak mau tidurku harus kupastikan dengan tenang tanpa gerakan yang aneh-aneh.

 Kita saling berkenalan satu sama lain, ternyata kita sama-sama kuliah di Jogja. Sebuah kesamaan yang menjadi bisa menjadi bahan obrolan kami ke depan. Sekilas Chati terlihat baik, penolong dan bisa dimanfaatkan, maksudku bisa diandalkan. Malam itu belum ada obrolan, kami masih canggung, dan bergegas untuk tidur karena besoknya kami harus pagi-pagi sekali memulai aktivitas.

Hari pertama masih cukup aman, tidak ada suatu hal yang terlalu menghebohkan. Semoga hari esok lebih baik.

Bersambung...


4 comments:

Popular Posts