Cerita ini judulnya “Cerita 55”,
sampe sekarang aku juga ngga tau kenapa orang-orang itu semboyannya “55”. 55
adalah semboyan Pusat Pendidikan Polisi Militer. Awalnya aku pikir karena mereka
berisi atlet olahraga yang suka main futsal, jadi setim isi 5 orang vs 5 orang,
tapi sepertinya hipotesis ini kurang tepat. Sampe sekarang aku juga belum
ngerti maksud dari 55. Tapi yang jelas waktu itu kami pernah diajarin ketika
perkenalan harus teriak “55, 55, PIHC go!”, jadi semacam penyemangat gitu. Kita
mah daripada kena hukum lebih baik idem aja.
Setting cerita ini dimulai pas
aku ikut latihan militer, di Cimahi tepatnya, beberapa waktu yang lalu. Di situ
kami satu berjumlah 80 orang, dikarantina selama 2 minggu di Pusat Pendidikan
Polisi Militer. Tidak boleh memegang handphone, atau berinteraksi dengan
pihak luar selama berkegiatan di sini. Selama itu kami ngerasain pembelajaran
berharga yang memang harus dilalui melalui proses yang orang lain mungkin
bilang sedikit berlebihan. Tapi sebenernya ngga juga, menurutku orang-orang itu
yang belum pernah ngerasain aja kaya gimana (meskipun sebetulnya aku awalnya
juga depresi, supaya kalian yang baca tenang).
Oke mulai dari awal, kami ber-80 datang
ke kantor pakai atasan putih dipadu dengan training warna item dan sepatu kets,
kaya guru olahraga mau ujian praktik. Tinggal pake co-card, jadilah kita
senam berjamaah.
Hari itu
sebetulnya kami acaranya hanya seremonial, berkenalan, dan makan-makan. Tapi
ternyata di akhir acara ada sedikit plot twist. Tiba-tiba ada 3 orang
berpakaian tentara, satu perempuan dan dua laki-laki, masuk ke dalam ruangan
yang sama dengan kami. Kupikir awalnya beliau-beliau itu ngejagain acara biar
berlangsung dengan aman. Keren banget pikirku makan-makan aja dijagain sama
tentara. Setelah acara makan-makan selesai, ternyata pembawa acara justru mempersilakan
tentara tadi untuk mengambil alih acara untuk memandu kami. Hawa-hawa kurang
enak mulai terlihat. Spaneng, mencekam, semuanya jadi satu. “Matih kita”
pikirku
“Selamat
pagi!” Teriak salah satu ibu tentara itu
“Pagi!” jawab
kami beramai-ramai
“Selamat
pagi...!!!” teriak lagi
“Pagi...!!!”
kami teriak lebih kenceng mencoba mengimbangi
“SELAMAT
PAGI!!!” Teriak lagi
“PAGEE!!!
Kami bingung, ibu tentara ini ngga dengar apa gimana, kami sampai 3 kali
ngulang-ngulang selamat pagi ini.
“Kalian habis
makan, suara kalian loyo sekali. Saya yang sendiri saja suaranya bisa kencang
masa kalian kalah sama saya. SELAMAT PAGI...!!!”
“PAGEEE...!!!”
menurutku ini teriakan paling keras dari kami, kalau saja waktu itu kami teriaknya
sampai 33 kali mungkin sudah seperti zikir.
“Nha ya
gitu, itu baru namanya karyawan baru.” Syukurlah, aku sudah kepikiran buat
ngeluarin teknik scream kalo misal masih disuruh ngulang lagi.
“Perkenalkan
nama saya Komandan Fatimah. Beliau ini Komandan Arton dan Komandan Sholih.” Sambil
nunjuk-nunjuk mas-mas tentara dua yang lain. ”Kami ini dari Pusat Pendidikan Polisi
Militer (Pusdikpom), Cimahi. Perusahaan meminta kami untuk mendidik teman-teman
semua bersama kami selama dua minggu.”
Kami
yang baru ngerasain euforia jadi karyawan baru, praktis langsung ilang
gara-gara momen itu. Di gedung kami udah diminta push up dan
dibentak-bentak sama polisi militer yang datang waktu itu. Aku yang waktu itu
baru tau yang namanya ngeliat tentara perempuan agak heran juga, bisa tegas dan
gagah gitu “Keren juga ini orang” pikirku sambil mangut-mangut.
Setelahnya
kami dibagi menjadi tiga peleton yang sudah ditentukan oleh Pusdikpom dengan
memanggil nama kami satu per satu. Aku kebetulan berada di Peleton 1 dan di
situ aku belum mengenal satu sama lain karena baru datang dan gabung dengan
mereka.
Kami
juga diajarin yel-yel yang kalo semisal kita disuruh nyanyi bareng tiba-tiba
lupa bakal kena hukuman. Waktu itu aku kepikirannya cuma satu, mendingan aku lip
sync ketika yang lain pada nyanyi, sebuah kamuflase yang sempurna. Waktu
itu yang ngajar yel-yel Komandan Sholih.
“Ya ini
ada beberapa yel-yel, tolong dicatat. Nanti teman-teman semua ketika sudah
sampai di Pusdikpom harus sudah hafal. Nanti di perjalanan tolong dihafalkan.” Kata
Komandan Sholih. PR sekali di perjalanan kami harus ngehafal lagu-lagu itu
pikirku.
Lalu ia
mulai nyanyi “Kami PIHC berjiwa satria, tidak pernah mengenal keluh kesah. Apapun
.....” Tiba-tiba hening, kami berhenti mencatat, Komandan Sholih tampak gundah,
seperti lupa lirik . “Apapun...tantangan...halangan...rintangan” makin
lama suaranya mengecil, kami bingung mau catat yang mana. “Sik..sik” Kami
liat-liatan, oke ini sepertinya yel-yelnya memang dadakan bikinnya, kami
sedikit maklum.
“Oke,
sudah ketemu. Lanjut ya. Apapun rintangan tak jadi masalah, maju terus
pantang mundur demi kehormatan....” dan begitu seterusnya sampai yel-yel ketiga.
Dari situ aku kepikiran sebetulnya Komandan Sholih ini bakat jadi penyanyi,
bisa nulis lagu dalam waktu yang singkat, meskipun pada beberapa bait ada
beberapa lirik yang dari segi ketukannya kurang pas diucapkan.
Setelah
diajarin tiga yel-yel sekaligus kami disuruh turun dan naik bus menuju ke tempat
pelatihan kami, Pusat Pendidikan Polisi Militer. Kami dengan polosnya ikut arahan
dari komandan-komandan itu,.
“Teman-teman
setelah ini kalian turun dan masukkan barang bawaan di truk untuk diangkut ke
Cimahi.” Kata Komandan Fatimah.
Sesaat aku
mikir, kok ngga ada yang pura-pura sakit atau pura-pura ayan pikirku, minimal
pura-pura kesurupan lah biar latihan militer ini ngga jadi. Udah tau disana
kami bakal ditempa habis-habisan tapi pada diem aja. Oke, strategi pura-pura
sakit tidak terlaksana.
Di dalam
bus kami masih enjoy bercanda kesana kemari dengan temen duduk. Waktu
itu aku duduk sebangku sama Mas Bayu, orang Malang, badannya hitam, kekar,
orangnya jayus, cocok sama mukanya. Di dalam bus kami banyak bercanda.
“Salam
kenal, mas. Aku Bram. Asli mana mas?” aku mulai pembicaraan
“Halo,
aku Bayu. Asli Malang. Kalo masnya mana?”
“Ponorogo.
Woalah yowis jagongan nggawe boso Jowo wae nek ngono. Angkatan piro sampeyan?”
(Ya sudah ngobrol pakai bahasa Jawa saja kalo gitu. Angkatan berapa mas?)
“2012. Lha
awakmu?” (2012. Kamu?)
“2014.
Wah Mas Bayu berarti iki aku nyeluke.” (2014. Wah, Mas Bayu ini aku berarti manggilnya.)
karena memang banyak banget orang-orang yang berbeda-beda angkatannya, ada yang
berjenggot panjang kaya sudah berkeluarga, ada yang kecil banget kukira belum lulus
kuliah ternyata malah angkatan atas. Makanya kutanya tahun angkatannya biar ga salah
manggil. Setelah ngobrol beberapa saat ternyata Mas Bayu ini ayahnya seorang tentara
makanya badannya juga ikut-ikutan kekar, ngga heran.
Setelah
bercanda ngalor ngidul selama 3 jam akhirnya kami sampai di tempat
tujuan, Pusat Pendidikan Polisi Militer. “Keren sekali” dalam hatiku waktu itu,
karena baru pertama kali masuk markas tentara. Auranya udah beda dari sebelumnya,
rasa-rasanya aku jadi langsung siap perang ketika masuk gapura waktu itu.
Memang
selama di dalam bus tadi kami masih dibawa santai tapi ternyata ketika sudah sampai
di sana udah ga bisa bercanda lagi, kita di bus haha hihi kesana kemari
memang jadi semacam permulaan sebelum kami bener-bener ngga bisa ketawa.
“Ayo kalian semua harus sudah masuk
ke gedung itu dalam 5 hitungan. 1....2...3...” perintah Komandan Fatimah
Matih pikirku, mana mungkin kami
yang baru bangun tidur ini bisa ke sana dengan cepat hanya dalam hitungan 5. Udah
gitu beberapa dari kami ada yang berbadan besar, betul-betul misi yang berat
buat dia. Kami langsung lari secepatnya supaya ngga kena hukuman.
Sampe di tempat kita langsung
disuruh lari ke Gedung olahraga terus ngambil perlengkapan masing-masing yang
udah disiapin. Oke, disitu ada 80 tas yang kita musti nyari milik masing-masing
dalam 10 hitungan, “Ini mah udah pasti kena hukum” pikirku.
Setelah tas ketemu, selanjutnya bagi
yang laki-laki diwajibkan buat cukur gundul. Aku yang seumur hidup belum pernah
cukur gundul denger pengumuman itu agak sedikit syok. Ngga berapa lama
temen-temen ngga ada yang maju, akhirnya aku maju duluan. Sewaktu dicukur aku
sedikit basa-basi sama tukang cukurnya
“Pelan-pelan ya pak hehe.”
(hening)
Bapaknya hening, antara dia ngga paham
bahasaku atau mungkin karena dia orang Sunda makanya cuma paham Bahasa Sunda.
Akhirnya
aku mencoba berdialog dengan mengeluarkan wawasan Bahasa Sunda yang aku tahu “Aing
nyaho teh?”
“Tenang aja mas, saya hati-hati
kok.” Bapaknya baru menjawab pertanyaanku yang udah selang 2 menit, delay-nya
cukup lumayan untuk seorang bapak-bapak.
“Oh gitu ya pak. Tiap tahun
langganan terus ya pak buat nyukur siswa pendidikan?”
“Iya mas, sampe bosen saya jenis
cukurannya itu-itu aja”, ya iyalah masa iya siswa militer mau dikasih model
rambut mohawk, dikiranya ini mau pelatihan apa mau nyimeng.
Ngga selang lama, bapaknya nyaut
lagi “Udah mas, masnya bisa balik lagi ke tempat”
“Wah cepet ya pak. Biasanya kalo
cukur di sini tarifnya berapa pak?”
“Ya sekitar 15 ribu – 20 ribu mas.”
“Mayan juga ya. Oke deh, makasih
pak.” Semenjak perbincangan singkat itu aku jadi kepikiran nanti kalo udah tua
mau buka jasa cukur khusus gundul, udah ngga perlu pake teori, singkat, dan
gampang. Sebuah prospek yang menjanjikan.
Oke, setelah aku digundul aku balik
ke barisan. Sejauh ini belum ada yang terlihat jijik atau nahan muntah setelah
melihat bentuk wajahku yang sekarang, aman.
Setelah
semua selesai digundul, diminta buat ambil perlengkapan yang disiapin tadi buat
dipakai, mulai dari baju, celana, gesper, sepatu, sampai cara nali sepatu
semuanya musti bener. Setelah itu kami sempat diajarkan baris berbaris (PBB) sebentar
sesuai dengan peleton yang sudah dibuat sebelumnya di Kantor tadi. Memutari
gedung olahraga itu sampai kira-kira pukul 9 malam.
Komandan
Fatimah lalu mengambil alih barisan “Baik, hari ini cukup. Teman-teman setelah
ini silakan menuju ke barak masing-masing dan beristirahat. Besok kegiatan
dimulai jam 4 pagi dengan bersih-bersih (mandi), salat.” Buset pagi banget, aku
jam 5 yang biasanya baru bangun lalu salat setelah itu tidur lagi, ini disuruh
untuk mandi dan salat. Sebuah permulaan yang sempurna
Saatnya
kembali ke barak. Laki-laki dan perempuan baraknya dipisah, ya jelas dong. Di
dalem barak kita udah ditentuin tiap kasurnya bakal tidur sama siapa. Waktu itu
aku sekasur sama Chati, aku di ranjang atas, Chati di ranjang bawah. Ranjangnya
dari besi, khas angkatan militer. Karena aku ada di atas, gerak dikit aja ranjangnya
udah bersuara “ngik..ngik..ngik” akhirnya mau tidak mau tidurku harus
kupastikan dengan tenang tanpa gerakan yang aneh-aneh.
Kita saling berkenalan satu sama lain,
ternyata kita sama-sama kuliah di Jogja. Sebuah kesamaan yang menjadi bisa
menjadi bahan obrolan kami ke depan. Sekilas Chati terlihat baik, penolong dan
bisa dimanfaatkan, maksudku bisa diandalkan. Malam itu belum ada obrolan, kami
masih canggung, dan bergegas untuk tidur karena besoknya kami harus pagi-pagi
sekali memulai aktivitas.
Hari
pertama masih cukup aman, tidak ada suatu hal yang terlalu menghebohkan. Semoga
hari esok lebih baik.
Bersambung...
penasaran sama hari esoknya.. haha
ReplyDeleteSiap. Semoga secepatnya ya hehe
DeleteDitunggu kelanjutannya. Penasaran. Kayaknya seru.
ReplyDeleteSipsip. Ditunggu secepatnya 😁
Delete